Thursday, January 7, 2016

Sekolah doang emang cukup?


“jadi bulan februari libur? Berapa lama?” tanya mama.
“satu bulan lah kira-kira ma” jawab gw.
“mama denger dari grup whatsapp orang tua yang anaknya di jerman maret libur panjang lagi ya? Kalau gak salah libur paskah”
“iya ma. biasanya liburnya sekitar seminggu sampai 2 minggu. Tergantung tinggalnya di daerah mana”
“kok di jerman libur terus ya? Kapan sekolahnya?”

Pertanyaan nyokap gue tadi membuat gue berpikir. Bener juga ya kalau dihitung-hitung setahun ada 12 bulan, winter holiday kurang lebih 1 bulan, summer holiday sekitar 2 bulan, belum lagi libur paskah, libur Tag der Deutschen Einheit (hari kesatuan jerman), libur Pfingstmontag (Pentakosta), libur Fronleichnam (Corpus Christi), dan libur-libur lainnya. Jika diperhatikan dalam waktu 1 tahun kita hanya aktiv belajar selama kira-kira 8 bulan setengah. Dengan waktu belajar yang cukup singkat apakah kualitas pendidikan di jerman berbanding lurus dengan lamanya waktu belajar? Atau kualitas memang tidak bisa dinilai hanya dari kuantitas?

Gue termasuk orang yang beruntung karena penah merasakan sekolah di 3 negara yang berbeda. Sistem pendidikan Indonesia yang mendewakan kuantitas jam belajar sangat kontras dengan sistem pembelajaran di Australia yang hanya mewajibkan murid-muridnya untuk belajar 6 pelajaran saja, begitu pula dengan Jerman yang membudayakan efesiensi dan kedisiplinan.

Salah satu hal yang membuat gw penasaran hingga sekarang tentang pendidikan di jerman adalah apa aja sih yang diajarkan ke murid-murid ketika masih dibangku kindergarten (TK) & Grundschule (SD)? Gue bukan psikolog, tapi gue tau kalau masa kanak-kanak adalah masa yang penting untuk membangun karakter seseorang. Pernah temen gue mengatakan “gue bersyukur pas SD gue sekolah di sekolah islam, soalnya walaupun gw sekarang nakal tapi gw tau batasan, mana yang masih wajar, mana yang udah terlalu melampaui batas. Jadi gw bisa membatasi diri gue sendiri”. Dari perkataan temen gw tadi, pendidikannya di sekolah islam ketika SD telah membentuk karakternya hingga sekarang. Dengan karakter orang jerman yang sangat disiplin dan efisien, apa aja sih yang mereka pelajari ketika kanak-kanak hingga bisa membekas menjadi karakter yang sampai sekarang telah menjadi budaya. Apakah pendidikan di sekolah saja cukup untuk membangun karakter seseorang? Tentu saja tidak, peran keluarga dan lingkaran pertemanan juga berpengaruh penting.

Taat peraturan bukan hal asing buat kita, tetapi mengapa melanggar peraturan sudah menjadi hal yang lumrah dikalangan orang Indonesia? Padahal sejak kecil kita telah dididik untuk menjunjung tinggi peraturan. Salah satu hal kecil yang gue perhatikan adalah peraturan menyebrang jalan, sejak kecil kita telah dituntun untuk menyebrang di trotoar atau jembatan penyebrangan, tetapi kenapa hingga sekarang kita masih saja (termasuk gue) sering nyebrang jalan sembarangan? Di Jerman ketika jalanan kosong pun orang masih menunggu hingga lampu lalu lintas untuk pejalan kaki berubah hijau baru mereka menyebrang jalan, padahal tidak ada mobil sama sekali yang melintas dan tidak ada juga polisi lalu lintas. Jadi apa sih yang membuat mereka masih memegang teguh peraturan sampai-sampai membuat gue yang biasa menyebrang jalan sembarangan ikut menaati peraturan? Akhirnya gue menyadari ternyata yang membuat mereka menuruti peraturan adalah karena semua orang melakukannya. Taat akan peraturan sudah menjadi budaya yang dianut oleh sebagian besar orang jerman, jadi ketika sebagian kecil orang melanggar peraturan, walaupun itu peraturan kecil seperti menyebrang jalan, mereka ikut merasa bersalah karena sebagian besar lainnya masih patuh dengan tata tertib.


Jadi bagaimana caranya membangun budaya baik seperti menaati peraturan? Apa pendidikan di sekolah saja cukup? Menurut gue enggak. Mantan ketua KPK Abraham Samad pernah berkata “pendidikan anti korupsi bukan saja tugas KPK atau sekolah formal tetapi juga tugas orang tua”. Jadi jika keluarga, sekolah dan lingkungan saling bekerja sama untuk membentuk budaya baik, pasti karakter orang Indonesia yang keras kepala lama-lama bisa lunak dan merangkul budaya tersebut. Itu bukanlah hal yang sulit, jika semua orang melakukannya pasti sebagian kecil lainnya akan mengikuti, jika hal buruk seperti mencontek ketika ujian bukan lagi menjadi hal lumrah pasti lama kelamaan masyarakat yang dibangun dengan asas kejujuran bukan lagi hal yang mustahil.

Apa yang bisa kita lakukan sebagai individu? Cobalah sedikit demi sedikit melakukan kebaikan walaupun terlihat remeh, karena kita tidak tau dampak apa yang bisa dihasilkan dari hal-hal kecil yang kita lakukan.

Allah knows best.



Tuesday, January 6, 2015

Renungan hati

Apakah cinta yang abadi itu nyata? Tak pernah kurasakan manisnya cinta, tak pernah pula mencicipi pahitnya. Hanya rasa hambar yang terasa. Bahkan air putih pun punya rasa, tapi mengapa hatiku begitu hampa? Apa ini kutukan? Apa mungkin cinta terlalu agung untukku? Dan aku hanya rakyat jelata ber pakaian karung goni dan ber alas kaki pelepah pisang. Apakah cinta terlalu hangat untuk hatiku yang sudah beku ini? Bukankah cinta itu adil? Atau aku yang terlalu menuntut cinta dan tak membiarkannya datang secara sendiri?


Mungkin aku harus menunggu lebih lama...

Sunday, January 4, 2015

Bukan cerita cinta

Ini bukan cerita cinta biasa. Ini adalah cerita anak manusia yang jatuh cinta kepada alam. Ini adalah ceritaku, seorang mahasiswa yang terdampar di negeri yang penuh dengan kebebasan. 
1 hari setelah pergantian tahun, aku dan beberapa kawan melakukan perjalanan ke selatan negara ini. Ke sebuah kota dimana 2 negara saling bertemu. Kota perbatasan Jerman dan Austria, bernama Füssen.
Sebelumnya aku akan menceritakan sepotong sejarah dari tanah Bavaria, Jerman. Sejak tahun 1864 hingga 1886 Bavaria dipimpin oleh seorang raja bernama Ludwig Friedrich Wilhelm, atau Ludwig (Louis) II. Ludwig II dikenang sebagai salah satu penguasa Jerman yang tidak biasa dan populer bagi rakyatnya. Popularitasnya ini disebabkan terutama karena tiga faktor: Pertama, ia menghindari perang, sehingga menciptakan kedamaian di Bavaria. Kedua, ia membiayai sendiri pembangunan kastilnya sehingga tidak membebani kas negara serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Ketiga, ia sering menyamar untuk mengunjungi rakyatnya dan menghadiahi orang-orang yang ramah terhadapnya dengan hadiah yang berlimpah. Ludwig adalah pribadi yang unik, dia mempunyai hobi membangun kastil. Terhitung ada 5 kastil yang di bangun pada masa kekuasaannya. Salah satu kastil yang paling indah adalah kastil Neuschwanstein. Kastil ini adalah kastil Bavaria pada abad ke-19. Kastil ini terletak di puncak pegunungan di Jerman, di   dekat Hohenschwangau dan Füssen di Bayern(Bavaria) barat daya.
Berbekal keingintahuan dan hasrat untuk berpetualang kami pergi melihat ketangguhan dan keanggunan kastil yang disebut sebagai model dari kastil di negeri dongeng di film disney itu. Untuk bisa sampai ke kota Füssen, tempat dimana kastil itu berada, kita harus naik kereta dari kota Munchen (Munich). Kira-kira dibutuhkan waktu 2 jam perjalanan untuk menuju ke Füssen dari Munchen.
Setelah berpisah dari pemandangan gedung-gedung tinggi di Munchen, kita disapa oleh rumah rumah mungil yang tertata rapih di pinggir kota. Setelah melantur kesana kemari bersama teman tak terasa pemandangan kota sudah bebubah menjadi lautan salju yang terhampar sampai ujung horizon. Tak jarang pula ada rumah-rumah khas eropa yang tersusun di lembah berbalut salju terlihat terselip diantara bukit-bukit mungil. Pemandangan bukit-bukit berubah menjadi pegunungan tinggi yang berbalut salju yang lembut dan pohon-pohon yang masih hijau daunnya, sebuah konspirasi semesta yang membuat mata tak bisa berpaling. Percuma aku deskripsikan, pemandangan di depan mataku adalah pemandangan yang bisa membuat lelaki tangguh mendayu-dayu seperti irama lagu Ella Fitzgerald. Sungguh karya ilahi yang tak terhingga nilainya.

Setelah 2 jam di kereta akhirnya kita tiba juga di Füssen. Kota mungil ini dikelilingi pegunungan Alpen yang tertutup salju. Jam menunjukan pukul 2 siang, kota ini telah dipenuhi oleh ratusan manusia yang ingin mengunjungi istana bavaria yang masyhur itu. Suasana melankoli eropa sangat terasa di kota ini, bangunan lawas dan baru tersebar bendampingan dan suasana musim dingin membuat kota ini terlihat lebih misterius dan anggun.

 

Akibat tebalnya salju dan cuaca yang tidak terprediksi, jasa tranportasi untuk para pengunjung yang ingin mengunjungi kastil yang berupa bis tidak tersedia, sehingga kita harus jalan kaki menuju ke kastil Neuschwanstein. Kastil ini terletak di atas gunung yang tidak terlalu terjal sehingga masih bisa dicapai dengan jalan kaki. Dibutuhkan kira-kira 40 menit untuk sampai ke kastil. Jalan setapak yang terbuat dari aspal dihiasi dengan salju yang sudah ternodai oleh lumpur-lumpur bekas jejak kaki manusia dan kuda. Kereta kuda sekali-kali terlihat mengantar penumpang yang tidak mau jalan kaki. Kadang kuda-kuda itu juga meninggalkan jejak lain berupa kotoran kuda, untungnya ada petugas yang rutin membersihkan jalan sehingga kotoran kudanya tidak terlalu mengganggu pejalan kaki. 40 menit menanjak menuju kastil sama sekali tidak terasa, peluh pun tak terlihat akibat temperatur yang sangat rendah. Setiap 5 meter sekali kita berhenti untuk berfoto. Pemandangan yang sangat menakjubkan adalah alasan utama mengapa 40 menit terasa seperti secepat jentikan jari. Pegunungan yang berpadu dengan bangunan-bangunan klasik eropa dan salju yang menutup atap-atap rumah terlihat seperti lukisan semesta yang tak ternilai.

 

Siluet bangunan tinggi terlihat disela sela pepohonan yang tak berdaun. Bangunan tinggi itu adalah kastil Neuschwanstein. Kastil ini tak ternilai keindahannya, kasti ini adalah pujian untuk imajinasi manusia, kastil ini adalah sosok bidadari yang duduk diantara permadani putih, kastil ini adalah cinta tuhan kepada ciptaannya. Hanya satu kata yang terkenang di hati saat melihat pemandangan surgawi ini “nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?”.



 

Dibalik kastil Neuschwanstein ada sebuah kastil yang lebih kecil tapi tak kalah cantiknya bernama kastil Hohenschwangau. Dibelakang kastil ini ada danau yang terlihat beku dan pegunungan yang berselimut salju. Jantungku berdebar melihat indahnya semesta ini. Angin lembut terasa seperti surga di dunia. Pada saat itu aku jatuh cinta. Jatuh cinta kepada alam dan kepada sang pencipta.

 

Nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan?



Cerita ini kupersembahkan untuk keluargaku yang ada di tanah air, semoga kita bisa bersama-sama mengunjungi bagian bumi yang indah ini.

Sunday, August 31, 2014

Yellow Jacket

Kuning itu sebenarnya salah satu warna yang nggak gw suka, terlalu norak dan mencolok. Kesannya bikin sakit mata. tapi nggak tau kenapa kalau ngeliat anak UI make jaket kuning mata gw bukannya sakit malah berbinar binar. Di dalam hati sebenarnya iri sih. Dari jaman SMP salah satu cita-cita gw adalah kuliah di UI. Wajar lah ya, gw tinggal di Pasar Minggu dan sekolah di Depok, jadi dari jaman sekolah dasar gw udah familiar sama universitas yang termasuk salah satu dari Universitas terbaik di Indonesia ini. Gw masih inget dulu pas jaman SD, gw dan temen temen TPA gw sering naik kereta dari pasar minggu sampe stasiun UI terus explore hutan UI yang isinya pohon karet. Tujuan kita sebenernya nyari biji karet sama mainin getah pohon karet. Pas SMP gw lebih sering keliling UI naik motor terus kalau malam ke daerah belakang hutan UI terus gangguin orang yang lagi gelap-gelapan pacaran. Gw juga sering diajak keliling fakultas fakultas di UI sama senior gw yang waktu itu masih jadi mahasiswa teknik mesin UI. Pas jaman SMA gw dan seorang sahabat gw sering explore UI terus bikin perjanjian kalau kita harus kuliah di UI, tapi tuhan berkata lain, gw kuliah di jerman dan temen gw ini sekarang kuliah di UGM. Sangking seringnya gw ke UI, gw hampir apal semua pintu masuk ke UI, dari mulai pintu utama sampai pintu yang harus melewati hutan di daerah PNJ.

Tapi memang tuhan tuh sayang sama kita. Kita selalu dikasih yang terbaik. Berati memang bukan takdir gw kuliah di sana walaupun itu cita-cita sejak kecil. Walaupun di hati yang paling dalam gw masih pengen kuliah di sana. Memang bener kata orang rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau, walaupun kita udah di kasih lebih masih aja kurang bersyukur.

Untuk mengobati keinginan gw untuk kuliah di UI, liburan kali ini gw sering meluangkan waktu gw yang emang luang banget buat ‘experiencing universitas Indonesia’.  Maksudnya ikut merasakan jadi mahasiswa UI. Dari mulai nongkrong di kantin fakultas teknik, ngopi di cafe di FISIP, ikut gelar jepang di FIB, main ke perpus UI yang bentuknya udah kaya kombinasi markas power ranger dan rumah teletubies, minjem ID temen terus internetan di perpus UI sampe ikut upacara wisuda dan penyambutan mahasiswa baru.

Jadi pas taggal 29 kemaren, gw diajak sama senior gw ke JCC buat liat kompetisi bisnis buat mahasiswa yang diadain sama Perbanas. Jadi ada 5 finalis yang berhasil lolos seleksi dan 2 diantaranya anak UI. Lomba itu kebetulan sangat private jadi ga semua orang bisa masuk ke ruangan lomba. Dan Alhamdulillahnya dengan bantuan temen temen dari UI gw bisa masuk ke sana dan bisa liat semua pengusaha muda ini mempresentasikan bisnis mereka. Salah satu juri di acara ini adalah Prof. Rhenald Kasali, dia itu guru besar di fakultas ekonomi UI. Gw seneng banget, gw sering liat dia di TV terus emang kagum sama kepintarannya. Jarang jarang bisa ketemu guru besar UI sempet ngobrol sebentar pula.

Sehabis dari acara itu gw balik ke depok dan diajak lagi sama senior gw ke balairung UI buat liat wisuda. Kita kesana naik motor, dan agak bingung gara gara hampir semua pintu masuk ke UI udah ditutup. Alhamdulillah pintu belakang PNJ masih dibuka. Setelah sampai balairung kita coba masuk lewat pintu depan tapi ternyata kita gak boleh masuk karena gak punya undangan. Senior gw ini gak abis akal dia cari jalan masuk lain tapi nggak ketemu, terus kita nyelinap ke belakang stand souvenir terus lompat tali pembatas biar bisa masuk, agak ilegal sih tapi demi ngeliat wisuda apapun bisa dimaklumi. Akhirnya kita bisa masuk dan naik keatas tribun Balairung yang udah dipenuhi sama maba yang dengan bangga menggunakan jaket kuningnya. Besyukur kita duduk di tribun atas jadi bisa ngeliat semua prosesi acara wisuda UI. Acaranya cukup lama hampir 2 jam. Isinya dari mulai penyambutan dosen, nyanyi lagu UI dan Indonesia raya, pemberian penghargaan buat yang lulus dengan nilai cum laude, dan nyanyi lagi.



Setelah selesai acara ternyata diluar hujan deres, jadi orang gak bisa keluar balairung alhasil balairung jadi penuh orang desek-desekan. Setelah setengah jam-an desek-desekan kita bisa keluar walaupun di luar masih gerimis. Abis itu kita keliling keliling nyelametin orang orang walaupun gak kenal. And i found this:



Kemudian kita nyari mushola buat sholat Ashar terus masuk ke sebuah ruangan yang ternyata isinya dosen dan guru besar. Didalam ruangan ini ada sebuah mushola, tapi pas kita mau masuk kita dijegat seorang satpam cewe, dia bilang kita gak bisa sholat di sana ini khusus guru besar. Senior gw malah cuek aja terus ngabain larangan si satpam dan masuk ke mushola. Dia bilang “masa tempat sholat dibatas batasin, gak bener tuh”. Gw sih ngikut aja. Setelah selesai wudhu gw dan senior gw ini ngobrol sebentar dan masuk seorang bapak-bapak seumuran bokap gw. Tiba tiba senior gw ini langsung salim sama si bapak ini dan ngasih kartu namanya sambil ngenalin dirinya sebagai alumni teknik mesin UI. Bapak ini terlihat ramah banget, ngomongnya halus dan pelan. Setelah ngobrol sebentar dia nanya sama kita “udah sholat belum?” kita jawab belum. Lalu dia ngajak sholat bareng dan dia jadi imam. Pas selesai  sholat dan dzikir si bapak ini nanya ini itu ke senior gw dan gw cuman dengerin aja, lagian gw gak kenal sama si bapak. Terus si bapak ngasih wejangan hidup dan doain kita supaya lancar dan tambah soleh. Kita aminin aja. Setelah si bapak pergi gw tanya sama senior gw “mas itu tadi siapa sih?”; ”itu pak Gumilar Rusliwa, mantan Rektor UI, dia itu rektor UI termuda” ; “oh itu tadi rektor UI??? Jadi kita di imamin plus didoain sama rektor UI?” gw langsung excited. Jarang jarang bisa ketemu langsung sama Rektor apa lagi gw bukan mahasiswa UI J


Pengalaman yang baru dan seru sih. Makasih banget buat senior saya mas Andi Nata yang rela ngajak saya jalan jalan keliling UI :D 

Wednesday, December 25, 2013

Bahasa Indonesia? Bahasa daerah?


Udah seminggu lebih gue ga update blog. Alesannya sih gue ada ujian akhir minggu lalu. Doain aja ya supaya hasilnya memuaskan.

Jadi ceritanya pada post kali ini gue mau membahas soal bahasa. Lebih tepatnya sih bahasa yang ada di Indonesia. Menurut Wikipedia, ada lebih dari 700 bahasa di Indonesia, dari yang masih aktif sampai yang sudah hampir punah. Hebatnya orang Indonesia itu banyak yang dibesarkan dengan minimal 2 bahasa. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Belum lagi kalau orang tua berasal dari suku yang berbeda dengan bahasa yang berbeda. Bertambahlah bahasa yang kita pahami. Jadi menurut gue anak Indonesia yang tak mengerti bahasa daerah itu sangat rugi, karena kemampuan komunikasi itu sangat penting apa lagi buat nawar harga di tempat yang punya bahasa daerah sediri, pasti orang lebih respect pada kita kalau kita berbicara bahasa mereka. Contohnya gue sekarang tinggal dijerman, gue akan lebih di terima sama orang jerman kalau gue bicara bahasa jerman bukan bahasa inggris.

Bahasa Indonesia: bahasa persatuan

Seperti yang kita ketahui ada ratusan suku dan bahasa di Indonesia. Dari Jakarta jalan sedikit ke Bogor pun sudah bicara beda bahasa. Bayangkan kalau nggak ada bahasa Indonesia, kita jalan ke luar kota sudah berasa pergi ke luar negeri. Tak faham bahasa dan berasa turis. Jadi bahasa Indonesia itu benar benar bahasa persatuan.

Bahasa itu akan selalu berkembang. Begitu juga bahasa Indonesia. Kita tau bahasa Indonesia berakar dari bahasa melayu yang sampai sekarang masih di gunakan di daerah kepualuan Riau dan sebagian Kalimantan. Mereka masih menggunakan bahasa melayu murni berbeda dengan bahasa melayu-Malaysia yang sudah dipengaruhi bahasa Inggris. Sama dengan bahasa Malaysia, bahasa Indonesia juga terbentuk karena pengaruh bahasa-bahasa lain seperti bahasa belanda, bahsa inggris dan bahasa-bahasa daerah. Jadi gue kira perkembangan bahasa Indonesia ga akan berhenti, pasti nanti jaman gue punya anak, anak gue akan ngomong dengan bahasa Indonesia yang berbeda dari bahasa Indonesia yang sekarang kita tau.

Bahasa gaul

Apa sih yang dikategorikan sebagai bahasa gaul? Menurut gue sih bahasa gaul itu bahasa yang dipakai sehari hari (bukan bahasa formal). Tapi jaman sekarang, bahasa gaul itu bahasa yang dipakai sama anak muda di Jakarta dan di acara-acara TV. Sebagai orang yang besar di Jakarta, mugkin bahasa ‘gaul’ itu bahasa yang paling gue kuasai dibanding bahasa Indonesia formal atau bahasa daerah. Yang gue pertanyakan kenapa bahasa gaul itu cuma dikotakan sebatas bahasa anak muda Jakarta, padahal kalau dibanding jumlah penduduk Indonesia yang buanyak, anak muda Jakarta itu cuman segelintir, jadi menurut gue aneh aja bahasa yang dipakai segelintir orang di cap sebagai bahasa gaul. Mungkin lebih tepat dinamain bahasa Jakarta, karena bahasa gaul ini banyak terpengaruh oleh bahasa betawi (bahasa betawi itu bahasa daerah beda dengan bahasa Jakarta yang universal), bahasa inggris dan sebagian bahasa daerah lain seperti sunda dan jawa. Uniknya di Jakarta ini nggak semua orang bicara bahasa yang sama. Semua suku dan bahasa ada di Jakarta. Mungkin hasil dari campur aduk bahasa ini terciptalah bahasa ‘gaul’ ini. Sebagai kota terbesar dan ibu kota, Jakarta adalah pusat semua kegiatan di Indonesia termasuk kegiatan pertelevisian. Jadi bahasa yang popular di Jakarta akan juga dipakai di program TV, jadi mungkin ini sala satu alasan bahasa Jakarta ini di cap sebagai bahasa gaul padahal bahasa ini tidak dipakai untuk bergaul di sebagian besar daerah di Indonesia. Berbeda dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang punya aturan gramatik yang jelas, bahasa gaul Jakarta itu masih berantakan. Kadang malah satu kata bisa menggantikan satu kalimat lengkap dan orang tetap bisa mengerti. Contohnya:

“enak sekali makanannya” bisa diganti dengan “beuuuuuh!!”
“malam ini hujan” diganti dengan “ujan coy”

Dan lain lain. Jadi bahasa ini akan menjadi bahasa yang paling cepat berkembang, jangankan bertahun-tahun kedepan, mungkin bulan depan akan ada kata-kata baru pengganti kata “unyu”.  

Bahasa daerah dan bahasa daerah yang di -Indonesiakan
Lain dengan bahasa gaul Jakarta yang tak beraturan, bahasa daerah punya aturan yang jelas bahkan lebih jelas daripada bahasa Indonesia. Bahasa ini sudah ada sejak jaman bahela sebelum belanda dateng ke tanah Nusantara. Dan hebatnya lagi bahasa ini masih bertahan sampai saat ini padahal banyak yang menganggap bahasa daerah itu kurang gaul dan ndeso. Tapi menurut gue bahasa daerah itu the real bahasa gaul. Gue termasuk orang yang rugi karena belom bisa menguasai bahasa daerah, gue cuman bisa bahasa Jawa pasiv secara orang tua gue berasal dari tahan jawa, tepatnya Surabaya dan Jogjakarta, itu pun gw hanya bisa bahasa jawa kasar karena ibu gw lebih sering ngomong bahasa Jawa (jawa timur) dibanding bahasa Indonesia.

Walaupun di Jakarta itu ada semua jenis suku dan bahasa dari pelosok Indonesia, tapi selama belasan tahun gue hidup di Jakarta, gue cuman familiar sama bahasa jawa dan sunda, yang lainnya hanya logat daerah bukan bahasa daerah. Tapi setelah berhijrah ke Jerman gue malah baru melihat betapa kayanya bahasa di Indonesia. Mata dan kuping gue bener bener terbuka. Dulu di Jakarta, mungkin teman gue banyak yang berasal dari luar jawa, tapi mereka pun ngomong bahasa Jakarta bukan bahasa daerah masing masing. Tapi di Jerman, orang Indonesia disini benar benar berasal dari pelosok negeri. Mungkin kalau nggak ke Jerman gue ga akan bisa punya teman yang native jawa, sunda, minang, batak, melayu (Sumatra & Kalimantan), dayak, bugis, bali bahkan papua. Mereka semua berbeda, punya bahasa yang berbeda dan watak budaya yang berbeda beda pula, yang menyatukan kita cuman identitas kita sebagai orang Indonesia dan berbahasa Indonesia. Gue kebetulan tinggal ber 7 satu rumah, 3 orang sunda, 2 orang Kalimantan, dan sisanya gw orang Jakarta dan satu orang bogor (bukan asli sunda). Jadi mereka bisa dirumah ngomong bahasa daerah masing masing dan gue cuma bisa melongo kerena nggak ngerti. Tapi karena terbiasa jadi malah gue yang untung karena bisa belajar bahasa baru. Sekarang gue mungkin mengerti 55% bahasa sunda bandung, bisa sedikit slang Kalimantan dan bahasa melayu. Jadi sekarang gue nggak sekuper dulu lah.  

Ada lagi jenis bahasa di Indonesia, yaitu bahasa daerah yang di-Indonesiakan. Apa maksudnya? Ini sebenernya istilah yang gue buat aja sih. Ini tuh hasil dari percampuran logat daerah, bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bisasanya ini digunakan sama orang yang biasa berbahasa daerah dan ingin bicara kepada orang dari daerah yang lain yang punya bahasa yang berbeda juga. Yang kerennya lagi cara ini bisa membuat bahasa baru lagi yang berbeda dari bahasa aslinya. Contoh yang paling gue suka adalah bahasa Papua. Kata temen gue yang berasal dari papua, ada ratusan bahasa di tanah papua, jadi jangan bayangin papua itu sama semua. Orang dari Raja Ampat kalau ketemu dengan orang dari Jayapura bisa nggak ngerti satu sama lain, sama aja lah kaya orang jawa-sunda. Jadi mereka ‘menciptakan’ bahasa baru yang bisa dipakai di seluruh penjuru Papua & Papua Barat. Kalau ada orang yang ngomong kaya gini lu bakal ngerti apa nggak?

“ hey ko su kirim email?”,“sa su makan” atau “ko mo pi kmana?” (sorry kalau ejaannya salah)

ini mungkin contoh yang paling gampang dari logat papua. Jangan salah bahasa ini menurut gw salah satu faktor pemersatu papua. Karena mereka rata rata berbicara seperti ini. Dulu mungkin lucu dan nggak ngerti kalau orang papua ngomong, tapi sekarang karena sering berkomunikasi dengan mereka gw bisa paham dan respect dengan bahasa mereka. Jadi bener tuh kata orang, banyak temen berarti banyak ilmu, dan bisa mengubah perspective gue terhadap orang lain.

Jadi ini lah pembahasan gue masalah bahasa yang ada di Indonesia. Maaf maaf aja kalau ada yang nggak setuju sama teori asbun gue. Tapi ya ini hanya pendapat subjektif gue doang kok hhe yang penting kita harus tetap bangga berbahasa Indonesia, jangan malu. Karena ada temen gue orang Malaysia pernah bilang ke gue, dia kagum sama Indonesia, katanya pas dia jalan jalan ke Indonesia dia kaget pas tau kalau semua orang bisa berbahasa Indonesia termasuk etnis cina, arab bahkan india yang tinggal di Indonesia, berbeda dengan di Malaysia yang cina pakai bahasa cina, yang india pakai bahasa india, bukan bahasa Melayu. Jadi berbanggalah kita orang Indoneisa yang bisa dipersatukan oleh bahasa kesatuan, bahasa Indonesia.  


Monday, December 9, 2013

Roommate Part 1 (Berlin)

Gue sudah hampir 1,5 tahun tinggal di jerman. Udah 1 kali pindah kota, dan 2 kali pindah rumah. Jadi kesimpulannya gue udah ganti temen satu apartement 2 kali di 2 kota yang berbeda. Mungkin ini salah satu pengalaman yang paling penting buat gue.  Punya banyak teman dan belajar berinteraksi dengan baik. Karena banyak temen itu artinya banyak koneksi dan banyak koneksi insya Allah juga banyak rezeki.

Selama ini gue belom pernah tinggal dengan selain orang Indonesia. Bukannya gue rasis ya, tapi menurut gue kita harus tinggal sama orang yang nyaman buat kita dan itu semua cuman bisa dicapai kalau tinggal sama saudara setanah air. Tapi nggak selalu pernyataan gw itu bener sih. Kadang pikiran kita saja yang terlalu terkotak kotak, hingga tidak bisa melihat lebih luas. Dengan tinggal sama bule kita bisa belajar bahasa dan budaya mereka. Tapi mungkin itu tidak menjamin kenyamanan. Bisa juga kita kedapatan tinggal dengan orang Indonesia yang bertolak belakang dengan kita dan tidak mau berkompromi dalam bertetangga. Jadi masalah dengan roommate adalah masalah yang dasar dan harus di mengerti oleh orang satu rumah termasuk diri kita.

Capek ah ngomong serius. Mendingan kita ngomongin yang asik asik aja.

Jadi seperti yang gue bilang tadi, gue udah pernah pindah rumah 2 kali. Pertama kali gue dateng ke Jerman gue tinggal di kota terbesar sekaligus ibu kota dari Negara ini yaitu Berlin. Kota ini mungkin paling mirip dengan Jakarta. Minus macet, minus polusi dan minus macem macem lah. Tapi semua terjadi di kota ini seperti Jakarta.

Di Berlin gue tinggal di daerah yang namannya Charlottenburg, tepatnya dekat dengan Schloss Charlottenburg (istana gitu deh). Gue nggak tinggal di instana kok cuman deket aja dari istananya. Tempat tinggal gue memang salah satu tempat yang nyaman untuk ditinggali, selain dekat dengan istana ada juga sungai yang mengalir tepat di samping gedung apartment gue jadi asri banget environment-nya. Balik lagi deh ke topik awal ngomongin tentang roommate. Di apartement ini ada 2 kamar tidur, 1 gudang, dapur dan kamar mandi. Lengkap sih karena sewanya juga agak mahal. 1 kamar tidur di isi sama 2 orang. Jadi totalnya itung sendiri lah berapa orang yang tinggal disini. Anda benar! 4 orang! *abaikan saja*. 1 kamar diisi oleh gue dan teman gue. Dan kamar yang lain diisi sama 2 cewe. Jadilah mereka 3 kenalan pertama gue di Jerman. Di masa masa awal di Berlin, gw bisa di bilang sangat ansos. Gw keluar rumah cuma buat belanja, solat jumat, sama les bahasa. Selain itu gue kerjain semuanya di rumah. Karena jika disitu ada koneksi internet, di situlah dimulai kehidupan hhe. Beda dengan 3 roommate gue. Mereka mungkin bisa dikategorikan jadi ‘anak gaul indo’ dan gue ‘anak jago kandang’. Ga tau kenapa dulu gue agak susah kenalan sama orang, jadi gw ga punya temen dan temen gue cuman laptop yang sudah tak muda lagi.

Teman gue yang satu kamar sama gue asalnya dari papua. Apus semua bayangan kalian tentang perawakan orang papua. Gue sendiri dulu masih bingung mungkin karena pikiran gue masih sempit kali ya. Temen gue satu ini kulitnya lebih putih dari gue dan badannya gede. Tapi gue pertama ketemu dia setelah 2 minggu pertama gue di berlin. Dia jarang pulang. Dulu gue mengkategorikan dia sebagai ‘anak-gaul-nomaden-padahal punya rumah’. Kalau pulang udah kaya lagunya Payung Teduh, malam terlalu malam pagi terlalu pagi. Jam 2-3 malem baru balik atau kalau balik sore jam 7 udah jalan lagi. Kalau gue Tanya:

“lu udah mau pergi lagi?”
“iya nih mau ke Koethen (salah satu kota kecil 2 jam dari berlin)”

Anjiir gue pikir kuat abis ya ini orang jalan mulu dari kota A ke kota B terus ke kota C. gue disuruh ke Jakarta barat aja ogah kalau dari rumah di Jakarta *emang terlalu mager sih*. Ini dia bolak balik kota yang jauhnya kira kira kaya Jakarta-bandung. Setelah beberapa lama gue kebiasa sih dengan kebiasaan temen gue satu ini. Mudah-mudahan aja dia pergi pergi terus itu bukan karena gw jarang mandi *walaupun tetep wangi*.  Setelah gue tanya temen serumah yang lain dia emang dari dulu jarang pulang.

Teman satu apartemen gw yang lain itu 2 cewe. Berjilbab. Solehah lah insya Allah. Mereka jarang dirumah juga. Eh jangan mikir yang nggak-nggak. Mereka tuh ke masjid terus setiap hari. Nah problemnya itu, waktu itu lagi bulan Ramadhan. Dan Ramadhan bertepatan di musim panas. Enaknya tinggal di Indonesia, waktu siang dan malam ga pernah berubah-rubah. Nah di Eropa unfortunately semua tergantung musim. Musim panas siangnya lama banget. Dan maghrib itu jam setengah 10 malam. Jadi kita puasa kira-kira 18 jam!! Bayangkan! Wajar dong kalau gue jadi mager *ini mah alesan aja, biasanya juga mager*. Jadi kalau maghrib jam setengah 10 malem, otomatis isya jadi lebih malem dan solat taraweh selesainya jadi malem banget. Sekitar jam 12an malam baru selesai. Dan gue baru tau akhir-akhir ini kalau mereka jarang pulang gara-gara kemaleman dan ga ada yang nemenin mereka pulang juga, karena gue lebih sering solat di rumah. Jadi mereka lebih milih nginep dirumah temen mereka dibanding pulang malem. Sampe sekarang gue jadi ga enak sama mereka. Tapi mereka enjoy enjoy aja kok dan ga pernah bete sama gue. Mungkin ini ya yang namanya toleransi sesama teman satu rumah.

Gue toleransi ke temen gw yang pulang malem terus atau malah jarang pulang. Dan 2 cewe ini toleransi sama kemageran gue.  Ya itu lah hidup, ga ada orang yang perfect, jadi  kita harus bisa toleransi satu sama lain. Apa lagi sama yang tinggal bareng sama kita. Dan jangan keenakan di toleransi terus, kita juga harus mikirin yang lain.

Roommate part 1 selesai. Lanjutannya menyusul ya…