“satu bulan lah kira-kira ma” jawab gw.
“mama denger dari grup whatsapp orang tua yang anaknya di
jerman maret libur panjang lagi ya? Kalau gak salah libur paskah”
“iya ma. biasanya liburnya sekitar seminggu sampai 2 minggu.
Tergantung tinggalnya di daerah mana”
“kok di jerman libur terus ya? Kapan sekolahnya?”
Pertanyaan nyokap gue tadi membuat gue berpikir. Bener juga
ya kalau dihitung-hitung setahun ada 12 bulan, winter holiday kurang lebih 1 bulan,
summer holiday sekitar 2 bulan, belum lagi libur paskah, libur Tag der Deutschen Einheit (hari kesatuan
jerman), libur Pfingstmontag (Pentakosta), libur Fronleichnam
(Corpus Christi), dan libur-libur lainnya. Jika diperhatikan dalam waktu 1
tahun kita hanya aktiv belajar selama kira-kira 8 bulan setengah. Dengan waktu
belajar yang cukup singkat apakah kualitas pendidikan di jerman berbanding
lurus dengan lamanya waktu belajar? Atau kualitas memang tidak bisa dinilai
hanya dari kuantitas?
Gue termasuk orang yang beruntung karena penah merasakan
sekolah di 3 negara yang berbeda. Sistem pendidikan Indonesia yang mendewakan
kuantitas jam belajar sangat kontras dengan sistem pembelajaran di Australia
yang hanya mewajibkan murid-muridnya untuk belajar 6 pelajaran saja, begitu
pula dengan Jerman yang membudayakan efesiensi dan kedisiplinan.
Salah satu hal yang membuat gw penasaran hingga sekarang
tentang pendidikan di jerman adalah apa aja sih yang diajarkan ke murid-murid ketika masih
dibangku kindergarten (TK) & Grundschule (SD)? Gue bukan psikolog, tapi gue
tau kalau masa kanak-kanak adalah masa yang penting untuk membangun karakter
seseorang. Pernah temen gue mengatakan “gue bersyukur pas SD gue sekolah di
sekolah islam, soalnya walaupun gw sekarang nakal tapi gw tau batasan, mana
yang masih wajar, mana yang udah terlalu melampaui batas. Jadi gw bisa
membatasi diri gue sendiri”. Dari perkataan temen gw tadi, pendidikannya di
sekolah islam ketika SD telah membentuk karakternya hingga sekarang. Dengan karakter orang jerman yang sangat disiplin dan
efisien, apa aja sih yang mereka pelajari ketika kanak-kanak hingga bisa
membekas menjadi karakter yang sampai sekarang telah menjadi budaya. Apakah
pendidikan di sekolah saja cukup untuk membangun karakter seseorang? Tentu saja
tidak, peran keluarga dan lingkaran pertemanan juga berpengaruh penting.
Taat
peraturan bukan hal asing buat kita, tetapi mengapa melanggar peraturan sudah
menjadi hal yang lumrah dikalangan orang Indonesia? Padahal sejak kecil kita telah
dididik untuk menjunjung tinggi peraturan. Salah satu hal kecil yang gue
perhatikan adalah peraturan menyebrang jalan, sejak kecil kita telah dituntun
untuk menyebrang di trotoar atau jembatan penyebrangan, tetapi kenapa hingga
sekarang kita masih saja (termasuk gue) sering nyebrang jalan sembarangan? Di
Jerman ketika jalanan kosong pun orang masih menunggu hingga lampu lalu lintas untuk
pejalan kaki berubah hijau baru mereka menyebrang jalan, padahal tidak ada
mobil sama sekali yang melintas dan tidak ada juga polisi lalu lintas. Jadi apa
sih yang membuat mereka masih memegang teguh peraturan sampai-sampai membuat
gue yang biasa menyebrang jalan sembarangan ikut menaati peraturan? Akhirnya gue
menyadari ternyata yang membuat mereka menuruti peraturan adalah karena semua
orang melakukannya. Taat akan peraturan sudah menjadi budaya yang dianut oleh
sebagian besar orang jerman, jadi ketika sebagian kecil orang melanggar peraturan,
walaupun itu peraturan kecil seperti menyebrang jalan, mereka ikut merasa
bersalah karena sebagian besar lainnya masih patuh dengan tata tertib.
Jadi bagaimana caranya membangun budaya baik seperti menaati peraturan? Apa pendidikan di sekolah saja cukup? Menurut gue enggak. Mantan ketua KPK Abraham Samad pernah berkata “pendidikan anti korupsi bukan saja tugas KPK atau sekolah formal tetapi juga tugas orang tua”. Jadi jika keluarga, sekolah dan lingkungan saling bekerja sama untuk membentuk budaya baik, pasti karakter orang Indonesia yang keras kepala lama-lama bisa lunak dan merangkul budaya tersebut. Itu bukanlah hal yang sulit, jika semua orang melakukannya pasti sebagian kecil lainnya akan mengikuti, jika hal buruk seperti mencontek ketika ujian bukan lagi menjadi hal lumrah pasti lama kelamaan masyarakat yang dibangun dengan asas kejujuran bukan lagi hal yang mustahil.
Apa
yang bisa kita lakukan sebagai individu? Cobalah sedikit demi sedikit melakukan
kebaikan walaupun terlihat remeh, karena kita tidak tau dampak apa yang bisa
dihasilkan dari hal-hal kecil yang kita lakukan.
Allah
knows best.